Minggu, 08 Desember 2013

NAMA : RIZAL SUBEKTI
KELAS : 1KA09
NPM : 17113880


BAB X 

AGAMA DAN MASYARAKAT



Kaitan agama dengan masyarakat banyak dibuktikan oleh pengetahuan agama yang meliputi penulisan sejarah dan figur nabi dalam mengubah kehidupan sosial, argumentasi rasional tentang ati dan hakikat kehidupan, tentang Tuhan dan kesadaran akan maut menimbulkan relegi dan sila Ketuhanan Yang Maha Esa sampai pada pengalaman agama para tasauf.
Bukti-bukti itu sampai pada pendapat bahwaagama merupakan tempat mencari makna hidup yang final dan ultimate. Agama yang diyakini, merupakan sumber motivasi tindakan individu dalam hubungan sosialnya, dan kembali pada konsep hubungan agama dengan masyarakat, di mana pengalaman keagamaan akan terefleksikan pada tindakan sosial dan invidu dengan masyarakat yang seharusnya tidak bersifat antagonis.
Peraturan agama dalam masyarakat penuh dengan hidup, menekankan pada hal-hal yang normative atau menunjuk kepada hal-hal yang sebaiknya dan seharusnya dilakukan.
Contoh kasus akibat tidak terlembaganya agama adalah “anomi”, yaitu keadaan disorganisasi sosial di mana bentuk sosial dan kultur yang mapan jadi ambruk. Hal ini, pertama, disebabkan oleh hilangnya solidaritas apabila kelompok lama di mana individu merasa aman dan responsive dengan kelompoknya menjadi hilang. Kedua, karena hilangnya consensus atau tumbangnya persetujuan terhadap nilai-nilai dan norma yang bersumber dari agama yang telah memberikan arah dan makna bagi kehidupan kelompok.
1. Fungsi Agama
Ada tiga aspek penting yang selalu dipelajari dalam mendiskusikan fungsi agama dalam masyarakat, yaitu kebudayaan, sistem sosial, dan kepribadian. Ketiga aspek itu merupakan kompleks fenomena sosial terpadu yang pengaruhnya dapat diamati dalam perilaku manusia, sehingga timbul pertanyaan sejauh mana fungsi lembaga agama memelihara sistem, apakah lembaga agama terhadap kebudayaan adalah suatu sistem, atau sejauh mana agama dapat mempertahankan keseimbangan pribadi melakukan fungsinya. Pertanyaan tersebut timbul karena sejak dulu hingga sekarang, agama masih ada dan mempunyai fungsi, bahkan memerankan sejumlah fungsi.
Manusia yang berbudaya, menganut berbagai nilai, gagasan, dan orientasi yang terpola mempengaruhi perilaku, bertindak dalam konteks terlembaga dalam lembaga situasi di mana peranan dipaksa oleh sanksi positif dan negatif serta penolakan penampilan, tapi yang bertindak, berpikir dan merasa adalah individu itu sendiri.
Teori fungsionalisme melihat agama sebagai penyebab sosial agama terbentuknya lapisan sosial, perasaan agama, sampai konflik sosial. Agama dipandang sebagai lembaga sosial yang menjawab kebutuhan dasar yang dapat dipenuhi oleh nilai-nilai duniawi, tapi tidak menguntik hakikat apa yang ada di luar atau referensi transdental.
Aksioma teori di atas adalah, segala sesuatu yang tidak berfungsi akan hilang dengan sendirinya. Teori tersebut juga memandang kebutuhan “sesuatu yang mentransendensikan pengalaman” sebagai dasar dari karakteristik eksistensi manusia. Hali itu meliputi, Pertama, manusia hidup dalam kondisi ketidakpastian juga hal penting bagi keamanan dan kesejahteraannnya berada di luar jangkauan manusia itu sendiri. Kedua, kesanggupan manusia untuk mengendalikan dan mempengaruhi kondisi hidupnya adalah terbatas, dan pada titik tertentu akan timbul konflik antara kondisi lingkungan dan keinginan yang ditandai oleh ketidakberdayaan. Ketiga, manusia harus hidup bermasyarakat di mana ada alokasi yang teratur dari berbagai fungsi, fasilitas, dan ganjaran.
Jadi, seorang fungsionalis memandang agama sebagai petunjuk bagi manusia untuk mengatasi diri dari ketidakpastian, ketidakberdayaan, dan kelangkaan; dan agama dipandang sebagai mekanisme penyesuaian yang paling dasar terhadap unsur-unsur tersebut.
Fungsi agama terhadap pemeliharaan masyarakat ialah memenuhi sebagian kebutuhan masyarakat. Contohnya adalaha sistem kredit dalam masalah ekonomi, di mana sirkulasi sumber kebudayaan suatu sistem ekonomi bergantung pada kepercayaan yang terjalin antar manusia, bahwa mereka akan memenuhi kewajiban bersama dengan jenji sosial mereka untuk membayar. Dalam hal ini, agama membantu mendorong terciptanya persetujuan dan kewajiban sosial dan memberikan kekuatan memaksa, memperkuat, atau mempengaruhi adat-istiadat.
Fungsi agama dalam pengukuhan nilai-nilai bersumber pada kerangka acuan yang bersifat sakral, maka norma pun dikukuhkan dengan sanksi sakral. Sanski sakral itu mempunyai kekuatan memaksa istimewa karena ganjaran dan hukumannya bersifat duniawi, supramanusiawi, dan ukhrowi.
Fungsi agama di sosial adalah fungsi penentu, di mana agama menciptakan suatu ikatan bersama baik antara anggota-anggota beberapa masyarakat maupun dalam kewajiban-kewajiban sosial yang mempersatukan mereka.
Fungsi agama sebagai sosialisasi individu adalah, saat individu tumbuh dewasa, maka dia akan membutuhkan suatu sistem nilai sebagai tuntunan umum untuk mengarahkan aktifitasnya dalam masyarakat. Agama juga berfungsi sebagai tujuan akhir pengembangan kepribadiannya. Orang tua tidak akan mengabaikan upaya “moralisasi” anak-anaknya, seperti pendidikan agama mengajarkan bahwa hidup adalah untuk memperoleh keselamatan sebagai tujuan utamanya. Karena itu, untuk mencapai tujuan tersebut harus beribadah secara teratur dan kontinu.
Masalah fungsionalisme agama dapat dianalisis lebih mudah pada komitmen agama. Menurut Roland Robertson (1984), dimensi komitmen agama diklasifikasikan menjadi :
a.Dimensi keyakinan mengandug perkiraan atau harapan bahwa orang yang religius akan menganut pandangan teologis tertentu, bahwa ia akan mengikuti kebenaran ajaran-ajaran tertentu.
b.Praktek agama mencakup perbuatan-perbuatan memuja dan berbakti, yaitu perbuatan untuk melaksanakan komitmen agama secra nyata. Ini menyangkut hal yang berkaitan dengan seperangkat upacara keagamaan, perbuatan religius formal, perbuatan mulia, berbakti tidak bersifat formal, tidak bersifat publik dan relatif spontan.
c.Dimensi pengalaman memperhitungkan fakta, bahwa semua agama mempunyai perkiraan tertentu, yaitu orang yang benar-benar religius pada suatu waktu akan mencapai pengetahuan yang langsung dan subjektif tentang realitas tertinggi, mampu berhubungan dengan suatu perantara yang supernatural meskipun dalam waktu yang singkat.
d.Dimensi pengetahuan dikaitkan dengan perkiraan bahwa orang-orang yang bersikap religius akan memiliki informasi tentang ajaran-ajaran pokok keyakinan dan upacara keagamaan, kitab suci, dan tradisi-tradisi keagamaan mereka.
e.Dimensi konsekuensi dari komitmen religius berbeda dengan tingkah laku perseorangan dan pembentukan citra pribadinya.
Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi memiliki konsekuensi paling penting bagi agama. Akibatnya adalah masyarakat makin terbiasa menggunakan metode empiris berdasarkan penalaran dan efisiensi dalam menanggapi masalh kemanusiaan, sehingga lingkungan yang bersifat sekular semakin meluas dan sering kali dengan pengorbanan lingkungan yang sakral. Menurut Roland Robertson, watak masyarakat sekular tidak terlalu memberikan tanggapan langsung terhadap agama. Misalnya, sediktnya peranan dalam pemikiran agama, praktek agama, dan kebiasaan-kebiasaan agama.
Umumnya, Kecenderungan sekularisasi mempersempit ruang gerak kepercayaan-kepercayaan dan pengalaman-pengalaman keagamaan yang terbatas pada aspek yang lebih kecil dan bersifat khusus dalam kehidupan masyarakat dan anggota-anggotanya.
Hal itu menimbulkan pertanyaan apakahan masyarakat sekuler mampu mempertahankan ketertiban umum secara efektif tanpa adanya kekerasan institusional apabila pengaruh agama sudah berkurang.
2. Pelembagaan Agama
Agama sangat universal, permanen, dan mengatur dalam kehidupan, sehingga bila tidak memahami agama, maka akan sulit memahami masyarakat. Hal yang harus diketahui dalam memahami lembaga agama adalah apa dan mengapa agama ada, unsur-unsur dan bentuknya serta fungsi dan struktur dari agama.
Dimensi ini mengidentifikasikan pengaruh-pengaruh kepercayaan, praktek, pengalaman, dan pengetahuan keagamaan dalam kehidupan sehari-hari. Dimensi-dimensi ini dapat diterima sebagai dalil atau dasar analitis, tapi hubungan antara empat dimensi itu tidak dapat diungkapkan tanpa data empiris.
Menurut Elizabeth K. Nottingham (1954), kaitan agama dalam masyarakat dapat mencerminkan tiga tipe, meskipun tidak menggambarkan keseluruhannya secara utuh.
a.Masyarakat yang Terbelakang dan Nilai-nilai Sakral
Masyarakat tipe ini kecil, terisolasi, dan terbelakang. Anggota masyarakatnya menganut agama yang sama. Sebab itu, keanggotaan mereka dalam masyarakat dan dalam kelompok keagamaan adalah sama. Agama menyusup ke dalam kelompok aktivitas yang lain. Sifat-sifatnya:
  1. Agama memasukkan pengaruhnya yang sakral ke dalam sistem masyarakat secara mutlak.
  2. Nilai agama sering meningkatkan konservatisme dan menghalangi perubahan dalam masyarakat dan agama menjadi fokus utama pengintegrasian dan persatuan masyarakat secra keseluruhan yang berasal dari keluarga yang belum berkembang.
b.Mayarakat-masyarakat Praindustri yang Sedang Berkembang
Masyarakatnya tidak terisolasi, ada perkembangan teknologi. Agama memberi arti dan ikatan kepada sistem nilai dalam tiap masyarakat, pada saat yang sama, lingkungan yang sakral dan yang sekular masih dapat dibedakan. Fase kehidupan sosial diisi dengan upacara-upacara tertentu. Di pihak lain, agama tidak memberikan dukungan sempurna terhadap aktivitas sehari-hari, agama hanya memberikan dukungan terhadap adat-istiadat.
Pendekatan rasional terhadap agama dengan penjelasan ilmiah biasanya akan mengacu dan berpedoman pada tingkah laku yang sifatnya ekonomis dan teknologis dan tentu akan kurang baik. Karena adlam tingkah laku, tentu unsur rasional akan lebih banyak, dan bila dikaitkan dengan agama yang melibatkan unsur-unsur pengetahuan di luar jangkauan manusia (transdental), seperangkat symbol dan keyakinan yang kuat, dan hal ini adalah keliru. Karena justru sebenarnya, tingkah laku agama yang sifatnya tidak rasional memberikan manfaat bagi kehidupan manusia.
Agama melalui wahyu atau kitab sucinya memberikan petunjuk kepada manusia untuk memenuhi kebutuhan mendasar, yaitu selamat di dunia dan akhirat. Dalam perjuangannya, tentu tidak boleh lalai. Untuk kepentingan tersebut, perlu jaminan yang memberikan rasa aman bagi pemeluknya. Maka agama masuk dalam sistem kelembagaan dan menjadi sesuatu yang rutin. Agama menjadi salah satu aspek kehiduapan semua kelompok sosial, merupakan fenomena yang menyebar mulai dari bentuk perkumpulan manusia, keluarga, kelompok kerja, yang dalam beberapa hal penting bersifat keagamaan.
Adanya organisasi keagamaan, akan meningkatkan pembagian kerja dan spesifikasi fungsi,juga memberikan kesempatan untuk memuaskankebutuhan ekspresif dan adatif.
Pengalaman tokoh agama yang merupakan pengalaman kharismatik, akan melahirkan suatu bentuk perkumpulan keagamaan yang akan menjadi organisasi keagamaan terlembaga. Pengunduran diri atau kematian figure kharismatik akan melahirkan krisis kesinambungan. Analisis yang perlu adalah mencoba memasukkan struktur dan pengalaman agama, sebab pengalaman agama, apabila dibicarakan, akan terbatas pada orang yang mengalaminya. Hal yang penting untuk dipelajari adalah memahami “wahyu” atau kitab suci, sebab lembaga keagamaan itu sendiri merupakan refleksi dari pengalaman ajaran wahyunya.
Lembaga keagamaan pada puncaknya berupa peribadatan, pola ide-ide dan keyakinan-keyakinan, dan tampil pula sebagai asosiasi atau organisasi. Misalnya pada kewajiban ibadah haji dan munculnya organisasi keagamaan.
Lembaga ibadah haji dimulai dari terlibatnya berbagai peristiwa. Ada nama-nama penting seperti Adam a.s, Ibrahim a.s, Siti Hajar, dan juga syetan; tempatnya adalah Masjidil-Haram, Mas’a, Arafah, Masy’ar, Mina, serta Ka’bah yang merupakan symbol penting; ada peristiwa kurban, pakaian ihram, tawaf, sa’I, dan sebagainya.
Adam dan Hawa dalam keadaan terpisah, kemudian keduanya berdoa : “Ya, Tuhan kami, kami telah menganiaya diri sendiri, dan jika engkau tidak mengampuni kami dan memberi rahmat kepada kami, niscayalah kami termasuk orang-orang yang merugi.” (Q.S al-A’raf : 23).
Setelah itu Allah SWT memerintahkan Adam untuk ibadah haji (pergi ke sesuatu untuk mengunjunginya). Saat sampai di suatu tempat (Arafah= tahu, kenal), maka bertemulah ia dengan Hawa setelah diusir dari surge. Sebab itu dalam pelaksanaan ibadah haji, ada ketentuan wukuf (singgah).
Nama nabi Ibrahim a.s selalu dikaitkan dengan Ka’bah sebagai pusat rohani agama Islam (Kiblatnya Islam). Pada suatu peristiwa Allah memerintahkan Jibril membawa Ibrahim a.s, Siti Hajar dan Ismail a.s putranya yang masih kecil ke Makkah dari Palestina. Di suatu tempat, Ibrahim a.s atas perintah Allah SWT supaya meninggalkan istri dan putranya. Kemudian Ismail menangis meminta air, tentu saja Siti Hajar menjadi khawatir dan gelisah, maka ia pun berlari mencari air ke bukit Shafa dan Marwa sebanyak tujuh kali.
Setelah itu dengan kuasa Tuhan, memancarlah air dari dekat kaki Ismail (sekarang sumur air Zam-zam). Sebab itu, dalam rukun Haji ada Sa’I (berlari kecil) sebanyak tujuh kali di bukit Shafa dan Marwa. Siti Hajar merupak lambang yang bertanggung jawab, tidak pasrah, perjuangan fisik dan meniadakan diri tenggelam ke dalam samudera cinta.
Kurban dikaitkan resmi dengan ibadah haji. Lembaga ini berhubungan dengan sejarah rohani Ibrahim a.s yang diperintahkan oleh Alla SWT untuk menyembelih putranya Ismail a.s, untuk menguji kesempurnaan tauhidnya. Sewaktu penyembelihan akan dilaksanakan, syetan sempat menggoda Ibrahim a.s agar tidak melaksanakan perintah Allah tersebut. Kemudian Ibrahim dan Ismail melemparkan batu ke arah suara syetan itu berasal. Untuk mengenang peristiwa itu, dalam pelaksanaan ibadah haji diwajibkan melempar jumrah (batu).
Sewaktu Ismail akan disembelih oleh Ibrahim a.s, ternyta Allah menggantinya dengan seekor gibas (domba) jantan. Firman Allah : “Mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah yaitu bagi orang yang sanggup mengadakan perjalanan pergi kesana. Barang siapa yang kafir (terhadap kewajiban haji), maka bahwasanya Allah Mahakuasa (tidak memerlukan sesuatu dari alam semesta)” (Q.S 3:97).
Jadi, kewajiban tersebut, esensinya adalah evolusi manusia menuju Allah dengan pengalaman agama yang penting. Mengandung simbolis dari filsafat “pencptaan Adam”, “sejarah”, “keesaan”, “ideology islam”, dan “ummah”.
Organisasi keagamaan yang tumbuh secara khusus, bermula dari pengalaman agama tokoh kharismatik pendiri organisasi keagamaan yang terlembaga.
Muhammadiyah, sebuah organisasi sosial Islam yang dipelopori oleh Kiai Haji Ahmad Dahlan yang menyebarkan pemikiran Muhammad Abduh dari Tafsir Al-Manar. Ayat suci Al-Quran telah memberi inspirasi kepada Ahmad Dahlan untuk mendirikan Muhammadiyah. Salah satu mottonya adalah, Muhammadiyah diapandang sebagai “segolongan dari kaum” mengajak pada kebaikan dan mencegah perbuatan jahat (amar ma’ruf, nahi ’anil munkar)
Dari contoh sosial di atas, lembaga keagamaan berkembang sebagai pola ibadah, pola ide-ide, ketentuan (keyakinan), dan tampil sebagai bentuk asosiasi atau organisasi. Pelembagaan agama puncaknya terjadi pada tingkat intelektual, tingkat pemujaan (ibadat), dan tingkat organisasi.
Tampilnya organisasi agama adalah akibat adanya “perubahan batin” atau kedalaman beragama, mengimbangi perkembangan masyarakat dalam hal alokasi fungsi, fasilitas, produksi, pendidikan, dan sebagainya. Agama menuju ke pengkhususan fungsional. Pengaitan agama tersebut mengambil bentuk dalam berbagai corak organisasi keagamaan.
3. Konflik Agama Dalam Masyarakat
Konflik Agama di Indonesia
Agama merupakan panduan moralitas manusia dalam menjalankan aktivitas sehari-hari untuk menemukan nilai-nilai kemanusiaannya. Dengan adanya kesadaran beragama, manusia akan memiliki kesadaran tentang betapa pentingnya kehadiran manusia lain. Manusia lain tersebut tentu memiliki berbagai perbedaan dan keunikan tersendiri. Mulai dari suku, agama, ras, maupun golongan. Perlu adanya sebuah kesadaran untuk menyikapi perbedaan-perbedaan tersebut.
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) agama didefinisikan sebagai ajaran, sistem yang mengatur tata keimanan (kepercayaan) dan peribadatan kepada Tuhan Yang Mahakuasa serta tata kaidah yang berhubungan dengan pergaulan manusia dan manusia serta lingkungannya. Dari pengertian tersebut sebenarnya agama dapat digunakan sebagai alat yang meciptakan sebuah keselarasan dalam masyarakat. Sehingga manusia dapat memenuhi kebutuhannya, baik jasmani maupun rohani.
Perbedaan memang menjadi sesuatu yang tidak dapat dihindari di negeri ini. Para founding fathers secara tepat merumuskan bentuk negara ini bukan menjadi negara agama atau negara sekuler yang tentunya akan menimbulkan berbagai konflik. Pilihan untuk menjadi negara non agama memberikan dasar-dasar yang kuat bagi bangsa ini untuk bersikap toleran, menghargai kepelbagaian, dan menjunjung tinggi kemerdekaan. Rumusan para founding fathers menjadi sebuah kecermatan dan kecerdasan yang digunakan untuk dapat memenuhi kebutuhan bersama akan adanya sebuah ketenteraman dalam bermasyarakat.
Keamanan dan kenyamanan dalam menjalankan agama hanya menjadi sebuah harapan ketika sebuah rezim berkuasa selama kurang lebih 32 tahun. Rezim otoriter dengan Soeharto sebagai pimpinannya, telah membatasi ruang kebebasan publik. Dalam menjalankan sebuah agama, masyarakat harus mengikuti pola rezim yang sedang berkuasa. Pilihan untuk menjalankan sebuah agama atau keyakinan di luar agama yang telah ditetapkan pemerintah mustahil untuk terjadi. Hal tersebut kemudian menimbulkan sikap intoleran, parokal, dan genthoisme dalam masyarakat yang kemudian berujung dengan adanya sebuah konflik. Kekerasan maupun konflik semacam ini tentu saja menciderai ketenangan kehidupan beragama di dalam masyarakat, dan di tingkat internasional, telah mencoreng wajah Indonesia yang sering mencitrakan diri sebagai negara yang menghormati kebebasan beragama.
Sikap buruk yang muncul pada masyarakat menciptakan sebuah ancaman tersendiri terhadap kelangsungan hidup beragama di negeri ini. Antara sesama penganut agama  sarat dengan adanya pertikaian, permusuhan, bahkan pembunuhan. Lebih ironis lagi, agama dijadikan sebuah pembenaran untuk melakukan tindakan-tindakan yang sebenarnya tidak pantas untuk dilakukan tersebut.
Selain sebuah rezim otoriter sebagai penyebab terjadinya konflik, klaim kebenaran juga menimbulkan masalah tersendiri. Klaim kebenaran yang dimaksud adalah klaim kebenaran yang digunakan sebagai alat peneguh keyakinan dan landasan normatif peribadatan. Munculnya klaim kebenaran tersebut diakibatkan adanya sebuah kegelisahan penganut agama dalam menghadapi pilihan. Hal tersebut menciptakan sebuah ruang untuk menentukan pilihan berdasarkan pijakan berpikir masing-masing. Pilihan tersebut diterjemahkan berdasarkan interpretasi masing-masing individu maupun kelompok yang akhirnya menimbulkan sebuah ketidakharmonisan dalam masyarakat. Kebenaran yang semula berasal dari Tuhan Yang Maha Esa menjadi tersamarkan dengan adanya klaim kebenaran.
Klaim kebenaran yang ditandai dengan adanya perbedaan interpretasi dalam menghadapi suatu hal, akhirnya mengakibatkan polarisasi antarkelompok agama. Fenomena yang muncul di negeri ini adalah dengan munculnya Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah. Perbedaan yang muncul dalam bidang fikih semakin menjalar ke bidang politik. Fenomena serupa juga terjadi dalam agama Kristen yang kemudian melahirkan dua agama baru, yaitu Katolik dan Protestan.
Agama menimbulkan sebuah stratifikasi sosial dengan adanya proses pemahaman agama. Muncul pemegang otoritas teologis disatu sisi dan pengikut disis lain. Para pemimpin dalam berbagai agama secara eksklusif berperan sebagai penafsir tunggal terhadap ayat-ayat Tuhan maupun fenomena-fenomena yang muncul pada masyarakat. Kelompok pengikut diwajibkan untuk mengikuti apa yang telah diperintahkan oleh kaum pemimin agama.
Stratifikasi sosial yang terwujud dalam beragama juga berpeluang menimbulkan sebuah konflik. Interpretasi yang dimunculkan oleh para pemimpin agama diyakini oleh pengikut-pengikutnya sebagai kebenaran mutlak. Interpretassi yang berbeda-beda akhirnya melahirkan bermacam-macam kelompok eksklusif dalam agama tertentu. Hal tersebut mengakibatkan para pengikut mudah terombang-ambing diantara kebenaran interpretasi yang dimunculkan oleh para pemimpin agama. Akhirnya, masyarakat seakan kehilangan haknya untuk menentukan kebenaran sendiri.
Eksklusivitas dari para pemimpin maupun pengikut agama juga ditujukan untuk agama lain. Hal ini tentu juga berpotensi memunculkan sebuah konflik. Sebagai contoh, hal tersebut terjadi pada agama Yahudi. Bagi mereka tidak ada nabi setelah Nabi Musa AS. Nabi Isa AS maupun Muhammad SAW hanya dianggap sebagai tokoh sejarah dan bukan tokoh spiritual. Hal tersebut tentu menimbulkan permusuhan antaragama.
Selain beberapa hal penyebab konflik agama yang telah dibicarakan diatas, masih terdapat beberapa hal yang juga berpotensi menimbulkan sebuah konflik yang mengatasnamakan agama. Adanya sikap tertutup dan saling curiga antaragama juga menjadi sebuah hal yang berpotensi menimbulkan konflik. Agama semula ditujukan untuk menciptakan keserasian antar hamba Tuhan. Akan tetapi, dengan adanya sikap tertutup dan saling curiga antaragama, hal tersebut seakan sulit untuk diwujudkan. Kegiatan yang dijalankan oleh suatu agama dianggap sebagai sebuah ancaman bagi agama lain. Sebagai contoh, pendirian rumah ibadat dianggap suatu ekspansi yang akan merugikan agama lain. Pendirian ruma ibadat yang semula ditujukan sebagai sumber kebaikan dan kemaslahatan, malah menjadi sumber sengketa dan pertentangan.
Keterkaitan yang berlebihan terhadap simbol agama seperti Masjid dan Gereja juga dinilai sebagai sebuah sumber konflik. Masjid dan Gereja bukan lagi sebagai sebuah tempat sakral tetapi sesuatu yang patut untuk dibanggakan. Kebanggaan adalah sesuatu yang identik dengan kesombongan, maka jika kesombongan tersebut ternodai, konflikpun tidak dapat dihindari. Akibatnya, sikap saling membunuh muncul. Padahal, rumah ibadat yang dibangun tersebut ditujukan sebagai sarana belajar bagaimana untuk menjalin rasa cinta antar sesama hamba Tuhan.
Rumah ibadat, Masjid, dan gereja beralih fungsi menjadi lambang kesombongan manusia. Agama yang semula ditujukan sebagai sarana untuk menghayati iman dengan semakin mendekatkan diri kepada Tuhan, tetapi hanya digunakan semata-mata untuk mencapai kuantitas pemeluk dan alat pengemban kekuasaan. Para penguasa negeri ini telah menjadikan agama sebagai alat pelurus kebijakan. Tujuan agama yang telah terselewengkan menyebabkan penyebaran agamapun terselewengkan. Agama yang seharusnya digunakan untuk membangun kualitas iman, dijadikan alat pengumpul dan pembangun kekuatan. Akibat dari penghayatan yang salah mengenai agama seperti ini, manusia menjadi lebih mudah terprovokasi yang berujung pada sebuah konflik.
Berbagai masalah agama yang berpotensi menimbulkan konflik membutuhkan berbagai solusi untuk mengatasinya. Salah satu diantaranya adalah kita harus senantiasa mengembangkan sikap toleransi antar penganut agama. Penyelesaian konflik harus dimulai dari individu beragama tersebut. Harus ada sebuah kesadaran bahwa setiap agama memiliki teks dan ajaran yang terkadang tafsirnya masih ambigu, yang berakibat pada praktik dan keyakinan beragama yang berbeda. Membangun kehidupan bermasyarakat tanpa memandang adanya perbedaan agama merupakan modal yang sangat positif untuk menciptakan adanya sebuah perdamaian.
Dialog juga diperlukan dalam kehidupan sehari-hari. Dialog bukan ditujukan untuk mempersamakan satu agama dengan agama yang lain. Diadakannya dialog ditujukan untuk mendapatkan suatu titik temu yang dimungkinkan secara teologis oleh agama yang kita anut. Dalam memahami agama lain hendaknya kita bersikap melihat fenomena dengan apa adanya. Suatu dialog dilakukan dengan perasaan rendah hati untuk membandingkan konsep-konsep agama lain. Diharapkan suatu keharmonisan dapat diciptakan dengan adanya dialog tersebut.
Peran tokoh agama adalah sebuah hal yang vital untuk mengantisipasi terjadinya sebuah konflik. Tokoh agama harus memberikan pemahaman keagamaan yang damai dan tidak menonjolkan perbedaan. Mereka harus menyatakan bahwa urusan kebenaran agama adalah urusan pribadi yang tak boleh diganggu siapapun. Mereka juga harus memberikan contoh sikap yang seharusnya ditunjukkan dalam menghadapi sebuah permasalahan.
Akar sebuah konflik tidaklah tunggal seperti didasarkan pada perbedaan keyakinan dan doktrin. Hal tersebut menuntut sebuah penyelesaian dengan mempertimbangkan faktor-faktor lain seperti politik, ekonomi, sosial, dan lain-lain. Perbedaan merupakan rahmat dari Tuhan. Jadi, kita harus menghormati adanya perbedaan tersebut. Dengan sikap saling menghormati diharpakan dapat terciptanya masyarakat yang aman dan tenteram tanpa adanya sebuah konflik.
PENDAPAT 
agama ialah hal yang terpenting dalam hidup kita karena agama menjadi pegangan kita selama kita hidup didunia agar tidak salah dalam mengambil tindakan yang menjurus keperbuatan yang buruk . seharusnya kita sebagai makhluk beragama tidak saling melukai atau terjadi konflik karena sesungguhnya di agama kita masing masing mengajarkan perdamaian karena perdamaian itu indah . 
REFERENSI
Th. Sumartana, dkk. Pluralisme, Konflik, dan Pendidikan Agama di Indonesia, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005.
http://primadwianto.wordpress.com/2013/03/14/konflik-agama-di-indonesia/
http://karinarisaf.blogspot.com/2011/01/agama-dan-masyarakat.html

Tidak ada komentar:

Posting Komentar